عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِى جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ اشْتَرَى غُلاَمًا حَجَّامًا فَقَالَ إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ ، وَثَمَنِ الْكَلْبِ ، وَكَسْبِ الْبَغِىِّ ، وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْمُصَوِّرَ
Dari Aun bin Abi Juhaifah dari ayahnya, Abu Juhaifah, bahwasanya beliau membeli seorang budak laki-laki yang memiliki keterampilan membekam. Abu Juhaifah mengatakan bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pendapatan dari darah, pendapatan dari jual beli anjing, dan penghasilan pelacur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaknat pemakan riba, nasabah riba, orang yang menato, orang yang minta ditato, dan orang yang membuat patung atau gambar yang terlarang. (HR. Bukhari, no. 5617)
Hadis di atas merupakan salah satu dalil tegas yang menunjukkan haramnya pendapatan yang didapat dari darah. Pendapatan dari darah ini mencakup:
1. Upah yang didapatkan oleh tukang bekam karena membekam.
2. Jual beli darah untuk tujuan konsumsi. Di sebagian warung angkringkan, dijumpai “didih” (darah yang digoreng) yang diperjualbelikan.
3. Jual beli darah manusia. Sebagian tukang becak yang mangkal di sebagian rumah sakit merupakan contoh orang yang menjadikan kegiatan “menjual darah” sebagai profesi mereka. Setiap beberapa bulan sekali, mereka mendonorkan darahnya dengan upah sejumlah uang tertentu. Ini termasuk jual beli darah yang merupakan perkara haram menurut semua ulama, sebagaimana penuturan Ibnu Abdil Bar Al-Maliki. Demikian pula, termasuk jual beli darah adalah sikap sebagian orang yang tidak mau mendonorkan darahnya kepada orang yang membutuhkannya karena keperluan operasi atau lainnya, kecuali dengan upah tertentu.
Jadi, donor darah dengan upah sejumlah uang tertentu adalah suatu hal yang haram. Sedangkan, donor darah secara suka rela tanpa imbalan apa pun adalah amal kebajikan yang berpahala.
Pertanyaan, “Apakah donor darah itu berpahala? Apakah donor darah itu termasuk dalam firman Allah (yang artinya), ‘Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia, semuanya.’ (QS. Al-Maidah:32)? Berilah kami pencerahan.”
Jawaban Syekh Abdullah Al-Jibrin, “Donor darah itu tidaklah terkenal di masa silam. Oleh karenanya, para dokter masa silam dan orang-orang terdahulu tidak pernah menyebut-nyebut metode pengobatan dengan “memasukkan darah ke saluran darah”. Donor darah hanya dijumpai dalam metode pengobatan modern. Tidaklah diragukan bahwa doroh darah adalah sebuah metode yang memiliki pengaruh dan manfaat serta mempengaruhi kondisi si sakit. Karenanya, donor darah adalah metode pengobatan yang diperbolehkan dan terkenal.
Tidaklah diragukan bahwa orang yang mendonorkan sebagian darahnya yang berlebih, tanpa membahayakan tubuhnya, untuk menyelamatkan orang yang sakit keras dan menjadi sebab hilang atau berkurangnya penyakit, adalah suatu amal yang berpahala jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata. Boleh jadi, donor darah termasuk dalam ayat di atas, dengan syarat terwujudnya kesembuhan atau tidak sangat tergantung dengan donor darah tersebut, jika Allah mengizinkannya.
Banyak ulama terdahulu yang berfatwa melarang pengobatan dengan darah, dengan alasan, darah itu najis sehingga haram dimasukkan ke dalam tubuh, ditambah lagi adanya hadis yang mengatakan bahwa Allah tidaklah meletakkan kesembuhan umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal yang haram.
Akan tetapi, dengan menimbang bahwa manfaat donor darah adalah suatu yang terbukti, terlebih lagi bahwa dokter yang menangani pasien yang membutuhkan tambahan darah tidaklah bersentuhan langsung dengan darah, sehingga para ulama generasi belakangan menganjurkan donor darah. Mereka membolehkan dengan alasan “darurat”, atau dengan alasan bahwa pengobatan dengan donor darah adalah cara pengobatan yang bermanfaat dengan sesuatu yang belum jelas keharamannya.” (Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fi Al-Masail Ath-Thibbiyyah, juz 2, hlm. 23)
Walhasil, jika kesembuhan seseorang dari penyakit yang mengancam jiwanya itu sangat tergantung dengan adanya tambahan darah maka donor darah termasuk dalam QS. Al-Maidah: 32.
Dalam kondisi tertentu, seorang yang sangat membutuhkan tambahan darah itu tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan membeli kantong darah di PMI (Palang Merah Indonesia), misalnya. Dengan alasan ini, apakah kita boleh membeli kantong darah di PMI?
Jawabannya, “Jika seseorang berada dalam kondisi tidak bisa mendapatkan darah kecuali dengan membelinya, maka membeli darah itu tidaklah mengapa, dengan alasan kondisi darurat. Yang berdosa hanyalah orang yang menjualnya dan memakan hasilnya.” (Tamam Al-Minnah fi Fiqh Al-Kitab wa Shahih As-Sunnah, jilid 3, hlm. 302)
Artikel www.PengusahaMuslim.com